AKU mengemaskan selendang yang melilit
kepala sebelum kot yang kutanggalkan tadi kupakai semula. Hati dah membahang
semacam. Dah tiga puluh minit aku menunggu, batang hidung pun aku tak nampak.
Oh, hati, sabarlah!
“Cik
Lidiya Hamraa’?” Sapaan itu memaksa aku mengangkat pandangan memandang pintu
bilik mesyuarat yang terbuka dari luar. Aku tersenyum sopan. Walhal, tengah
tutup hati yang membahang.
“Sorry for being late. My boss will be here
in about ten minutes time. Can I get you anything?” soal lelaki itu. Aku
kira, itu setiausaha klienku. Aku masih senyum sebelum menggeleng. Tangan
mengangkat cawan yang sudah kosong di atas meja. Heh, tak malulah kalau aku
minta lagi segelas air.
“I’m sorry again, Miss Lidiya. My boss is
always like that. He needs thousands of reminder to remember about something,”
kata lelaki itu sebelum melangkah masuk ke dalam. Aku masih senyum saja. Aku
bukannya kenal pun siapa bos dia. Tak perlu kut nak berkenalan bagai.
“I’m Harith, Mister Habib Al-Qadus’s
secretary.” Tangan yang dihulur itu kupandang dengan kening yang
terjongket. Terkejut, sebenarnya. Oh, oh! Imej yang aku bawa tidak cukupkah
menampakkan bahawa aku seorang Muslimah? Allah...
Aku
sengih tak tahu nak cakap apa. Kalau aku tolak tangan dia guna fail di atas
meja ni, boleh?
“I’m a Muslimah,” tuturku ringkas.
Harap-harap dia faham. Harith senyum sebelum menarik tangannya dan
mengusap-usap belakang kepalanya. Malu barangkali.
“Sorry, I guess you bertudung tapi salam
lelaki...” kata Harith. Aku senyum saja. Tak kisah. Sebab memang banyak yang
begitu sekarang ni. Jadi tak mustahil persepsi orang yang melihat akan menjadi
begitu.
“I don’t wear hijab as it is a style. I wear
hijab as for I am a Muslimah, lillahita’ala. I wear hijab to be hijabbed. I
mean, hijab means something like tirai. Tirai or we can call it curtain. Curtain protects everything at the inner
side of a house from being spoilt by the sunlight. Protects the paint on the
wall in the house from fade... So do hijab. Hijabbed makes me feel safer than
not being hijabbed. Hijab, with the permission of Allah, protects me, as a
Muslimah. Hijab shows that I’m a Muslimah, so that people know the limits to
socialize with a Muslimah. Do correct me if my understanding of the definition
of hijab is wrong,” tuturku. Ehek... Aku tengok muka Harith macam nak kata
aku bajet bagus. Aduhai... Mulut! Kenapa begitu lancang?
“I’ve been to the European countrys and
Arabic too... But for your information, Miss Lidiya. I found out that some of
the Muslimah there, are not hijabbed and their manners are way too better than
our hijabbed Muslimah here. What say you?” balas Harith. Oh, Tuhan! Dia ajak
aku berdebat, atau apa?
“Mister Harith, it’s not fair to judge the
way people act, based on what they are wearing. Yes, I know, being hijabbed is
about the outer and the inner side of a Muslimah. I mean, it is not all about
what they wear but it is also about their manners, actions and behaviours. All
of the inner side of them, must show that they’re a Muslimah. But, at this
point, we must look back at our niat. What is our niat for being hijabbed?
Because of the fashion? Because of the trend? Because you look even more
beautiful when you’re hijabbed?When you have a proper niat which is because of
Allah, you’ll lead yourself to a better you. By the way, Mister Harith. When Allah
SWT chooses us to be an Islam, when we’re given the ni’mat of being an Islam, having
Allah as our only God, Muhammad SAW as our prophet, al-Quran and hadith as our
guide book to live, should we quest anymore? Can we simply choose and do the
things that we want, and leave the things that we don’t want to do? Why are we
being so arrogant towards Allah? While He gave us the ni’mat of being an Islam?
It is not us who choose to be or not to be an Islam. It is Allah. Allah chooses
us. When He chooses us to be an Islam, we must obey to His commands and His
prohibitions. I’m sure that the Muslimah there have read the Quran. They have
read the verse from surah an-Nur. Verse 31, saying that, “And tell the
believing women to reduce (some) of their vision and guard their private parts
and not expose their adornment except that which (necessarily) appears thereof
and to wrap (a portion of) their head covers over their chests and not expose
their adornment except to their husbands, their fathers, their husbands’
fathers, their sons, their husbands’ sons, their brothers, their brothers’ sons,
their sisters’ sons, their women, that which their right hands possess, or
those male attendants having no physical desire, or children who are not yet
aware of the private aspects of women. And let them not stamp their feet to
make known what they conceal of their adornment. And turn to Allah in
repentance, all of you, O believers, that you might succeed.” We must realize
and know that our Prophet told us that the learned (those who have learned a
lot) are those who practice what they know. This means, that when we have a
knowledge, we should act upon it because if we don’t, they won’t do us much
good. One more thing, we shall not forget that our life is given by Allah and
He can take it anytime. Anytime. So, should we just look and stare? How long
that we want to wait to change? As we don’t ever know how long that we are
going to live in this world anymore.” Aku berhenti seketika. Tak cukup
nafas. Aku senyum sinikal tetapi bukanlah ditujukan buat Harith. Aku tak
pandang pun dia. Aku sibuk renung fail atas meja.
“Hmmm... If you still want to look, stare and
wait, you can. Do if it pleases you. But, still, you can do that only if you
can change when you’re dead. Can you change when you’re dead? Stated in Quran,
verse 185 of Surah Ali Imran, “Everyone shall taste death. And only on the Day
of Resurrection shall you be paid your wages in full. And whoever is removed
away from the Fire and admitted to Paradise, he indeed is successful. The life
of this world is only the enjoyment of deception (a deceiving thing).” Hope
that clears you up!” tutupku. Huh, senak perut. Habis keluar segala apa
yang aku ingat. Hasil abang ajak aku pergi kelas agama setiap minggu di London.
Alhamdulillah.
Aku
mengangkat pandangan, memandang Harith. Pandangannya sedang tekun mengarah kepadaku.
Saat itu, aku terdengar suara berdehem. Pantas aku mengalih pandang memandang
ke arah pintu yang terbuka itu. Eh? Dah lama ke lelaki itu berdiri di situ. Dia
kelihatan sedang menarik-narik kepala tali lehernya. Kulitnya yang agak putih
tampak kemerah-merahan. Aku hanya memerhatikan tangannya yang memegang kepala tali
lehernya. Tetapi ternampak halkumnya bergerak-gerak. Apa kena ni?
“Errr... Harith, is that Mister Habib?”
soalku teragak-agak kepada Harith. Pandangan kuatur lambat-lambat ke arahnya.
Namun Harith tidak menjawab. Masih memandang aku.
Aku
memetik jari di hadapan wajahnya, untuk menyedarkannya. Tiga kali memetik,
barulah lelaki itu tersedar.
“Did you say something?” soal Harith. Aku
terdiam.
“I tanya...”
“Yes, I’m Habib Al-Qadus. So, you’re Miss
Lidiya Hamraa’?” soal lelaki yang duduk di hujung meja sana. Aku tarik
senyum.
“Yes, I am. Nice to meet you, Mister Ha...”
“Call me Qadus,” potong lelaki itu. Aku
masih tersenyum.
“Right, Mister Qadus,” ujarku.
“So can we start our discussion? And can you
please, move forward?” ujar Encik Habib Al-Qadus. Huih, nama... Tergeliat
lidah. Nama sajalah yang ala-ala arab. Muka tu... Entah, aku tak nampak lagi.
Duduk jauh. Tak jelas.
“Why not?” balasku seraya bangkit
daripada dudukku dan mengutip fail-fail di atas meja sebelum bergerak lebih
dekat dengan Encik Habib Al-Qadus. Semakin dekat aku melangkah, semakin jelas
wajahnya mencuri ruang di mataku. Entah mengapa, nafas terasa sesak. Oh, Allah...
Apakah yang cuba Engkau tunjukkan?
Terketar-ketar
tangan meletakkan fail di atas meja. Aku meraup wajah yang terasa hangat.
Tuhan! Mengapa saat ini baru Engkau tunjukkan? Mengapa?
“Harith, out.” Mudah bicaranya dan Harith
terus berjalan.
“Tapi
saya tak...” Baru sahaja ingin menghalang Harith daripada keluar, lelaki itu
sudah terlebih dahulu keluar daripada ruang mesyuarat ini. Aku terdiam.
“Any problem, Cik Lidiya?” soal Encik
Habib Al-Qadus. Aku diam lagi. Perlahan-lahan kepala kugeleng. Persoalan utama,
dia tidak kenal aku? Lid, dua tahun, Lid. Dua tahun kau jadi orang bodoh sebab
dia. Dua tahun... Dia tak ingat kau langsung! Bodohnya kau!
Perbincangan
itu berlangsung dengan hati yang tidak tenteram. Perlahan-lahan aku melafaz
zikir. Perlahan-lahan hatiku mulai tenang. Saat ini teringat. Hari ini, 1
Julai. MasyaAllah... Semua ini terjadi dengan izin Allah.
“AYAH, boleh Lid minta sesuatu?”
pintaku lembut. Ayah yang sedang duduk bersandar di hadapanku, kupandang. Ayah
menjongket kening mendengar bicaraku. Baru sahaja hendak meluahkan rasa hati,
tiba-tiba ayah menepuk meja.
“Oh, ya!
Lid, ayah hampir lupa tentang ini. Encik
Habib from The Nocturnal just ask me to take you out for lunch,” kata ayah.
Mataku membulat sepantas kilat. Apa?
“And what did you say?!” soalku laju
dengan nada suara yang sudah naik seoktaf. Ayah tertawa melihat keletahku.
“I said yes, of course. He will arrive soon,”
jawab ayah. Mataku membulat sekali lagi. Allah... Tak boleh begini. Lidiya
Hamraa’! Apa yang baru kau kata? Tak boleh? Lidiya, tiga puluh minit lagi,
Lidiya. Tiga puluh minit sebelum masa makan tengah hari. Kau mampu mengelak?
Allah, bantulah aku... Aku masih belum kuat.
Lidiya,
dulu ketika Dia tidak beri, engkau yang mahu. Tetapi kini apabila Dia beri,
engkau menolak? Sesungguhnya bukan kau yang tahu apa yang terbaik untuk kau.
Allah yang tahu apa yang terbaik untuk kau.
“I can’t, ayah.” Sepantas itu juga aku
bangun daripada dudukku. Panggilan ayah tidak aku hiraukan. Aku berjalan keluar
menuju ke bilikku dan segera mencapai beg tangan sebelum berlalu keluar.
“Natalie, I keluar. Cancel
all the appoinments for today and bring them to another date. Please.”
Biarlah ayah nak pecat aku pun kerana tingkah sesuka hatiku ini. Aku tidak
peduli. Yang penting, aku tidak mahu berhadapan dengan Habib. Aku perlu
berusaha untuk mengelak.
SAAT kaki memijak lantai kaki lima,
pandanganku terpaku pada sesusuk tubuh yang sedang melangkah ke arahku. Atau
lebih tepat, ke arah bangunan tempat syarikat kami bertapak. Aku membuang
pandang ke kanan sebelum segera aku berlalu dari situ.
“Miss Lidiya!” Panggilan itu tidak aku
endahkan.
“Miss Lidiya Hamraa’!” Huh! Tak
fasal-fasal semua orang yang lalu-lalang tahu nama aku!
“Miss Lidiya Hamraa’, could you just stop and
look at me?!” Suara itu semakin meninggi dan terdengar semakin mendekat.
Bertambah laju aku melangkah. Tanpa kusangka, tangan kanan terasa direntap kuat
sehingga menyebabkan tubuhku melayang dan aku trauma! Tak fasal-fasal aku
terjerit kecil setelah memejamkan mata sehingga tiba-tiba tubuhku sudah
terhenti daripada melayang. Air mata sudah mengalir. Takut, benar aku takut
terjatuh lagi.
“I’m sorry. I won’t let it happen again. I’m
really really sorry. Did that scared you?” Terdengar dekat suara yang
berbisik itu, aku tersentak. Mata yang terpejam terus kubuka. Baru tersedar
diri sedang dipeluk maha hebat. Allah! Hinanya aku!
“Let go of me!” jeritku kuat. Aku tidak
peduli lagi dengan orang di sekeliling. Asal aku tidak disentuh yang tidak
halal, aku hidup.
“Okay, okay!” Tubuhku terus terlepas
bebas. Dia kelihatan sedang mengangkat kedua-dua belah tangannya. Aku terdiam
memerhati wajahnya yang berkaca mata hitam itu. Semerta, ingatanku bertebaran
mengingati peristiwa di lapangan terbang dahulu. Dan ayatnya tadi menampar
gegendang telinga.
“I won’t let it happen again.”
Mataku
terus membulat. Sisa air mata kukesat bersih.
“You... You yang tarik I at the airport! You yang cuba nak
bunuh I!” tuduhku. Bukan, bukan
menuduh. Memang betul! Setelah dia berkaca mata hitam, barulah aku kenal
dirinya.
Aku
sekadar memerhati dia mengalihkan kaca mata hitam daripada wajahnya. Dia
tertunduk seketika merenung lantai sebelum memandang aku.
“Yes, I am. I am that person. And because of
that, I want to take you out for lunch. I thought that I am going to say sorry.
Miss Lidiya, I’m really sorry for what have happened. I knew. I knew that you
can’t move due to the incident and you’re admitted at the hospital. I’ve sent
you to the best hospital and the best doctor I could. Really, I’m sorry Miss
Lidiya,” ucapnya. Nampak tulus. Dan aku tahu, memang dia tulus. Seperti
itulah dia meminta maaf dahulu jika dia berbuat salah kepadaku. Aku diam
seketika, mencari ayat terbaik.
“Saya
maafkan. Tapi saya tak mahu berjumpa dengan awak lagi. Saya tak mahu berurusan
dengan awak lagi. Saya akan serahkan urusan syarikat kita kepada orang
kepercayaan saya. Awak akan berurusan dengan dia nanti. Tolong, jangan tegur
saya kalau kita terserempak walau cuma seketika. Pretend that we don’t know each other,” ujarku tegas. Ya, aku nekad
untuk tidak berjumpa dengannya lagi. Tiada gunanya kalau kami berjumpa pun.
Bukannya dia kenal siapa aku. Kalaupun mungkin aku sudah bertudung dan berpakaian
sopan dan longgar, mustahil dia tidak kenal. Muka aku masih sama. Cuma apa yang
berbeza, aku sudah menutup auratku.
“But why? What is the reason?” balasnya.
Aku diam seketika.
“Sebab
saya tak selesa. Lagipun Encik Qadus dah ada kekasih. Baik Encik Qadus jaga
hati dia elok-elok. Saya begitu bijak menerbitkan rasa cemburu dalam diri
seorang perempuan. Jadi, saya harap Encik Qadus bersetuju dengan apa yang saya
minta tadi,” tuturku. Masakan aku tidak ingat perbualannya dengan kekasihnya
dahulu? Ya, yang bajet romantik itu.
Aku
memandang wajahnya. Pandangannya dibuang ke sisi kanannya. Matanya kelihatan
mengecil. Barangkali sedang menahan silau. Aku lihat halkumnya bergerak-gerak.
Seketika, tangan kirinya diangkat, memicit-micit kepala dan dahinya.
“It hurts...” Dia berdesis perlahan. Aku
mengerut dahi. Apa yang...
“Encik
Qadus!” Aku terjerit perlahan melihat dia rebah. Huh? Apa yang aku nak buat?
“Encik,
Encik Qadus! Saya... Saya kena buat apa ni?” Sengal tak soalan aku? Okey,
sengal. Kepalanya terus kupangku. Sudahlah dia tidak menyedarkan dirinya. Peluh
dingin terbit pada dahi. Pandangan kuangkat, merenung keadaan sekeliling. Boleh
pula saat itu kuterpandangkan Harith.
“Harith!”
jeritku sekuat mungkin. Alhamdulillah, lelaki itu berpaling memandangku. Laju
sahaja tangan kuangkat menggamitnya supaya mendekatiku.
“Harith, your boss... He passed out!”
jelasku pada Harith yang sudah tiba di hadapanku. Harith mengangguk faham
sebelum tubuh itu dia cempung. Aku sudah berdiri di sebelahnya.
“Where’s your car?”
“My car?” soalku bingung.
“Yalah,
takkan kereta I pulak? Kereta I dekat ofis! Cepatlah, you ingat Habib ni seringan kapas ke,
Lidiya?” bidas Harith dengan muka yang mula memerah. Aku mulai sedar. Langkah
kuatur mendapatkan keretaku. Alat penggera kutekan. Pintu di bahagian belakang
kubuka. Harith meletakkan tubuh Qadus di situ.
“I’ll drive. You duduk belakang. Jaga
dia,” ujarnya dengan tangan yang ditadah. Aku meletakkan kunci kereta di atas
telapak tangannya sebelum masuk ke dalam kereta, di bahagian belakang. Menurut
arahan Harith. Tak lama menunggu, kereta terus dipandu laju. Ketika Harith membelok...
“Harith!
Drive carefully!” jeritku. Aku
bukannya risau dengan pemanduan Harith. Tapi aku risau dengan tubuh Qadus yang
kepalanya dah selamat mendarat di atas pahaku. Menggigil tubuhku. Peluh dingin
sudah membasahi wajah yang terasa sejuk. Barangkali wajahku sudah berubah pucat
tidak berdarah kini. Bibir tidak henti-henti menutur istighfar dan ta’awwuz.
Allah... Peristiwa itu menjengah kotak fikiranku. Ya Allah! Tolong Lidiya!
Semerta, pandangan terasa semakin kelabu dan akhirnya gelap.
AKU membuka mata yang terpejam. Fikiran
ligat berfikir mengenai apa yang telah berlaku. Aku bingkas bangun daripada
pembaringanku. Tangan meraba kepala. Tudung. Di mana tudungku?
Kepala
sudah berpusing memerhati sekitar bilik mencari tudungku. Tapi tiada.
Serasa
ingin menangis sahaja ketika ini apatah lagi saat aku berpaling ke sisi kanan
tadi, aku terpandangkan Habib yang masih lagi belum terjaga. Ya Allah,
bermimpikah aku?
Telinga
menangkap derap langkah seseorang mendekati. Aku jadi semakin kalut. Air mata
sudah menitis. Allah, di manalah tudungku? Siapa yang buka? Mengapa dibuka? Aku
tidak izinkan! Tidak boleh begini!
Mata
terus kuangkat memandang pintu yang terbuka dari luar. Aku menghela nafas lega.
Ayah. Ayah yang datang. Tapi bagaimana jika nanti Habib tersedar? Bagaimana?
Ayah... Lindungilah anak gadismu ini! Allah, lindungilah hambaMu ini.
“Lid...”
Ayah menutur perlahan.
“Ayah,
tudung Lid mana?” sergahku. Ayah kelihatan agak terkejut mendengar bicaraku.
“Ayah
tak...” Kata-kata ayah tidak sempat habis apabila pintu bilik dibuka lagi dari
luar. Aku kalut.
“Miss, tudung awak ada pada kami. Your clothes are all wet. Awak berpeluh
teruk. You’re on trauma,” jelas
doktor perempuan muda yang sedang melangkah masuk. Kelihatan tangannya memegang
sehelai tudung. Aku tidak tahu milik siapa. Dia berjalan mendekatiku seraya
menyerahkan tudung itu kepadaku.
“Take it, for you,” kata doktor itu. Aku
senyum senang. Tudung ekspress itu aku capai sebelum kusarungkan pada kepala.
Alhamdulillah, cukup selesa dan cukup labuh.
“Thank you,” ucapku. Doktor wanita itu
senyum seraya mengangguk.
“Can I ask you something?” soal doktor
yang bertanda nama Khalisah itu. Aku menganggukkan kepala.
“Have you been into any incident that caused
you trauma?” soal Doktor Khalisah. Aku terdiam. Aku jeling wajah ayah
seketika. Ayah tidak tahu. Aku tidak pernah cerita. Kisah bagaimana aku bertemu
abang, aku ubah seenak rasa.
“Saya
pernah... Hampir... Pernah hampir... Dirogol,” tuturku teragak-agak. Aku
pandang ayah. Mata ayah membulat merenungku. Aku menunduk, menahan rasa
bersalah.
“I see. That explains why you are so scared
that Habib accidently laid his head down on your legs,” kata Doktor
Khalisah. Aku senyum kecil kemudian mengangguk.
“Have you been to London, Lidiya?” soal
Doktor Khalisah tiba-tiba. Aku tersenyum kemudian mengerut dahi sedikit
mendengar soalannya itu.
“Kenapa
doktor tanya?” soalku. Doktor Khalisah tersenyum. Senyum yang seakan-akan
menyembunyikan sesuatu.
“Sebab
kalau awak belum pergi, saya ingat nak suruh awak pergi,” kata Doktor Lidiya.
Aku tertawa mendengarnya.
“I have been there. And that inciddent
happened there. Adalah lebih kurang tujuh tahun lebih saya duduk situ. Last few months baru saya balik
Malaysia,” ceritaku. Doktor Khalisah tersenyum dan mengangguk-angguk kecil. Dia
menunduk merenung kakinya.
“That explains everything...” Aku
mendengar desis perlahan suara itu berbicara.
“Explains what?” soalku. Doktor Khalisah
mengangkat pandangannya sebelum perlahan-lahan menggelengkan kepalanya.
Bibirnya mengukir senyum tawar.
“Saya
keluar dulu. Nanti saya masuk semula, check
on your condition,” kata Doktor Khalisah sebelum dia berlalu keluar. Aku
menahan rasa janggal di dalam jiwa. Kenapa dengan Doktor Khalisah?
“Why didn’t you tell ayah that you’re almost
being raped?” Soalan ayah menerjah gegendang telingaku. Aku menelan liur
kesat. Huh, kantoi.
No comments:
Post a Comment