“La
ila ha illallah. La ila ha illallah. La ila ha illallah muhamma
durrasulullah...” Zikir itu aku alunkan dengan nada yang lembut, dengan harapan
agar Hazzar bisa lena dengan mudah pada malam ini.
Sepuluh
minit mengulang tutur bait-bait zikir yang sama, sampai tekak aku terasa
kering, dan mata aku hampir terpejam, akhirnya aku dapat mendengar dengkuran
halus yang datang daripada Hazzar. Apabila dia dah berdengkur, tandanya dia
sudah lama terlelap dan kini tidurnya semakin lena. Macam mana aku tahu? Sudah
tentulah sebab aku selalu perhati Hazzar tidur.
Aku
menghela nafas dalam seraya aku terus menghanyutkan diri aku yang sememangnya
sudah separa hanyut ke dalam lena.
BANGUN
sahaja daripada tidur, terus aku tersedar bahawasanya hari sudah siang.
Lebih kurang pukul lapan pagi mungkin. Ni kalau bukan sebab aku tak boleh solat
ni, dah lama dah menyesal tak sudah sebab tak bangun solat subuh. Yang aku
tidur mati sangat ni pun kenapa? Walhal aku masuk tidur pukul sepuluh setengah
kut malam semalam.
Segera
aku mengiringkan tubuh ke sebelah kanan.
Alangkah
terkejutnya aku apabila sedikit sahaja lagi bibir aku akan berlaga dengan
hidung Hazzar. Alamatnya menjeritlah aku lengkap dengan aksi gimnastik bergolek
jatuh dari katil lagi.
“Awww!”
Aku gosok dahi yang terhantuk dengan meja lampu tidur. Sakitnya ya Allah! Bergegar otak aku. Rongga hidung terasa lain macam sahaja. Jantung seolah-olah
sudah hilang rentak degup asalnya.
“Aduhhh.
Aduhhh...” Tak sudah-sudah aku mengaduh sambil bangun daripada pembaringanku. Belakang
tubuh aku sandarkan pada rangka katil.
Aku
toleh ke belakang. Mata aku dan Hazzar berpapasan.
“Apa
pandang-pandang?” Aku hulur soalan dengan nada untuk mencari gaduh.
Hazzar
senyum dengan muka baru bangun tidur dia tu, “Sakit ke?”
“Tanya
pulak.” Aku kalih semula muka pandang depan. Rambut yang berserabai akibat
gimnastik tadi aku ambil semuanya dan aku bawa ke sebelah kanan bahuku.
Aku
meraba-raba dahi. Satu benjolan kecil sudah timbul.
Baru
sahaja ingin berdecit dek kecewa dengan benjolan yang terhasil itu, tiba-tiba
sahaja Hazzar melabuhkan duduknya di hadapan aku. Ada sehelai kain seperti sapu
tangan yang sedang dipegangnya.
Hazzar
kemudiannya mengikat kain itu membentuk satu jemput lantas dia bawa kain itu ke
mulutnya dan menghembuskan nafasnya melalui mulutnya beberapa kali. Aku faham
apa yang dia ingin lakukan.
Sambil
menghembuskan nafasnya, tangan kirinya bergerak menyebak anak rambut aku yang
menutupi dahi. Dan entah dipukau oleh apa, aku tidak menghalang langsung dia
menyentuh aku dan aku bagaikan terlupa terus tentang prinsip aku untuk tidak
membuka auratku di hadapannya.
“Bismillahirrahmanirrahim...”
Hazzar
memulakan proses menuam. Aku pula menyerahkan dahi aku secara rela. Lega
sedikit rasanya kesakitan yang aku rasa sejak tadi.
Mata
sekadar terpaku pada jari-jemari sendiri. Tak berani nak pandang wajah Hazzar.
Manalah pernah aku berada dalam posisi sedekat ini dengan dia?
“Terkejut
sangat ke?”
“Huh?”
Aku menengadah.
Mata
Hazzar bergerak memandang aku sekilas kemudian dia tersenyum, “Terkejut sangat
ke sampai jatuh katil siap terhantuk lagi dekat meja tu?”
Aku
menjeling wajahnya lantas menutur, “Tanya pula.”
Malas
aku hendak beri jawapan. Dah ada sebiji benjolan di dahi pun, masih lagi Hazzar
nak tanya sama ada aku terkejut atau tidak. Kalau aku tidak terkejut, tak ada
maknanyalah benjolan itu wujud.
“Mana
Huzair?” Entah ke manalah penghadang aku yang seorang itu menghilang. Elok-elok
aku tidur dengan anak, tak fasal-fasal tinggal papa dia aje sebelah aku. Sampai
hati Huzair khianati aku macam ni.
“Dekat
bawah.”
“Dia
dah makan ke?”
“Dah.”
“Huh?
Siapa masak?” soalku kebingungan.
“Yang
dekat depan mata Zaira nilah. Nak tunggu Puan Adiva Zaira bangun macam tak ada
tanda-tanda nak bangun aje...”
“Ya
ke? Muka macam baru bangun tidur aje,” desisku.
“Ya,
tak percaya pergilah turun bawah, makan. Muka macam baru bangun tidur sebab
memang saya baru bangun pun. Lepas masak tadi saya baring semula. Entah macam
mana terlelap.”
“Memanglah
terlelap. Tidur sir tu asyik tak lena saja seminggu ni kan...” tuturku
perlahan.
“Zaira?”Pergerakan
tangan Hazzar sudah terhenti.
Aku
memandang wajah Hazzar.
“Thank
you.”
Kening
aku berkerut. Untuk apa Hazzar berterima kasih? Aku ada berjasa apa-apa ke pada
dia?
“Untuk?”
“For
loving Huzair for who he is. For giving all your love that you have to him,
even though he is not even related to you.”
“Tak
adil rasanya sekiranya saya menghukum Huzair kerana saya kesal dengan tindakan
awak. Huzair layak disayangi, layak dikasihi. Sampai bila-bila pun saya akan
jaga dia seperti darah daging saya sendiri.”
“Zaira
terlalu muda untuk menjadi seorang ibu. Huzair tu bukanlah sesiapa pun dalam
hidup Zaira. Tak ada pertalian darah langsung. Kenapa Zaira sanggup jaga dia
seperti anak Zaira sendiri?” soal Hazzar.
“Because
our hearts are so much related, so close. I know what it’s like to suddenly
wake up, knowing that you have lost both of your parents and at that exact
moment, you knew, you just knew that you have no one who you could turn to, who
will accept you wholely, who will love you sincerely, who will care for you
forever, who will ask about your pain and heal the pain together with you. You
have lost them suddenly, when you are not prepared for it. Then there’s people
coming in and out of your life. You knew, you just knew that those who leave
you are the bad ones, the ones who never love you. And you just hoped that
those who are coming in your life, they are doing that with their own heart.
Because they want to love you. Because they want to take a good care of you.
And they could be the people whom you could always turn to. I’m just lucky
because your late father loves me, takes a good care of me... But it seems that
the situation is not the same for Huzair. His entire family hate him. Like he
is the one to be blame because of his parents fault. It just aches me, to see
him being dump like that. He needs to be loved. And what’s wrong if the love is
from a stranger who sincerely love him? What matter is, he is loved for who he
is.”
“I
hope he will grow up fine with us,” kata Hazzar.
“Hazzar?”
ujarku.
Hazzar
menjongket keningnya.
“Don’t
you want to save this marriage?” tanyaku. Entah mengapa tiba-tiba aku boleh
bertanya soalan sebegitu.
“W-what
do you mean?” Hazzar nampaknya benar-benar terkejut dengan soalan aku tadi.
Aku
menarik nafas dalam, “We’ve never tried.”
“Try
what?”
“To
love each other.”
Hazzar
tertunduk.
“We
keep on talking about divorce, instead of talking about love. We keep on
keeping things and feelings to ourselves instead of sharing. We keep on doing
our own things separately instead of doing things together. We’re just too
stupid because it’s actually we, who didn’t put our effort into making this
marriage work. And yet, we’re blaming this not-working-marriage as a reason for
a divorce,” tuturku.
Hazzar
tersenyum pudar, “I’ve never thought of divorce, Zaira. I’ve never intended
to marry you just to divorce you. It’s just you who keep saying that this
marriage is not working and the only way to end it is by divorce. And you keep
repeating that same statement for the whole six years, that I just thought that
you had never want me as your husband, never want me who will love you till my
last breath. That’s the reason why we never talk about love, we never share our
feelings, we never do things together. Your statement stops me from doing
anything. If divorce is the only answer for this marriage, then I don’t want my
heart to bleed so much. So I build a wall between us so that my love towards
you didn’t grow and when you’ll be leaving me someday, my heart will not break
into tiny pieces that is hard to be combined again...”
Terkesima
aku mendengar bicara Hazzar. Terkebil-kebil aku memandang wajahnya, “Are you
saying that you actually...” Aku mati kata.
Hazzar
mengangguk, “From a long time ago. Can’t you see it?”
“Wait,
no. No way.” Susah benar aku hendak percaya.
“That’s
why you never saw it. Because you never want to find it. And if it happens that
you found it, you will not want to accept the truth.”
“Other
truth? Yes, I can accept it. But this truth... How can I believe you when all
you did to me since I was a little kid was just making me frustated over you?
You’re such an annoying cousin back then!” kataku.
“You’re
annoyed because I care so much about you?”
“Huh?”
“Don’t
you realize that all the things that I did to you back then and until now are
just because I care about you?”
Aku
terbungkam. Tidak tahu apa lagi yang patut aku katakan.
“You
really love him, right?”
“Huh?
Who?”
“Fayyadh.”
“What?
No!” Bersungguh-sungguh aku geleng kepala.
“But
it seems so,” kata Hazzar.
“It
seems so, doesn’t mean it really so. Saya anggap dia macam kawan saja sebab
saya sedar status saya sebagai isteri. Tapi saya tak tahulah Fayyadh anggap saya
ni apa. Dia asyik cakap yang dia sayangkan saya. Tapi saya tak rasa semua tu. Saya
tak rasa apa yang dia rasa. It’s not love when you’re happy seeing him with
other girls and you’re realived that at least, he has someone else so that he
is not so broken when you have to leave.”
“So
if you’re not my wife, things will go smooth between you and Fayyadh, is it?”
Aku
menggeleng, “I’ve been considering to tell Fayyadh that I am your wife the
night that you gave the ring back to me so that he can move on and forget his
feelings towards me. But things about Ixora and Huzair came up and I changed my
mind.”
“About
that...” Hazzar berjeda seketika, “I marry her not because I love her.”
“I
can doubt that. I’ve seen you with her six years ago. I’ve seen you with other
girls too,” kataku.
“Yes,
Ixora and I are close. Have I ever told you that Ixora is my childhood friend?”
Aku
menggeleng.
“I
met her at the orphanage when we had this charity event. Arwah ayah was one of
the funder. We were about eight at that time.”
“Wow,
I’m not even born yet.”
Hazzar
tersenyum.
“Yeah,
I’ve known her longer than I know you. That’s why we’re so close. Like
siblings, maybe. And when it goes to siblings, you need to help them when
they’re in need, right?”
Aku
mengangguk.
“That’s
why I decided to marry her. She was facing this difficulties with her mother in
law. You knew that Ixora and Hafiz get married without Hafiz’s mother’s blessing,
right?” Aku angguk lagi.
“So
when Hafiz died due to cancer, his mother can’t accept his death. Ixora
is blamed as the cause of Hafiz’s death. Her life is really miserable because
she had to face threat from her mother in law and at the same time taking care
of Huzair just by herself. She was hospitalized a few times because of serious
injuries. I just don’t understand why her mother in law really wants to see
Ixora dies and I’m not suprised if Ixora’s car crash that leads to Ixora’s
death is also related to her.”
“So,
you marry Ixora to protect her?”
“Yes,
being her husband is the only solid reason to protect her, to make sure that
her ex-mother in law does not bother her anymore.”
“So
does it work?”
“Ya,
it was good. She is safe and I’m glad that Huzair could grow up well.”
“Then,
why the divorce?” soalku dengan kening yang berkerut. Jika Hazzar mengahwini
Ixora untuk melindungi Ixora, jadi mengapa mereka bercerai?
“Because
we just knew that we’re hurting ourselves in that marriage. We don’t love each
other like how husband and wife should. We just care about each other like how
siblings should. We know that the marriage will not benefit both parties in any
way. And we can’t pretend to be a wonderful parents to Huzair forever...”
“For
two years, you’ve never fallen in love with her? I mean, well, both of you are
in the same house, for God’s sake!”
“How
can I fall in love when my heart is not with me? And I don’t go and simply love
people because of their appearence and those outer stuffs,” kata Hazzar.
“Does
she knows about me?”
“Yes.”
Ohhh,
maknanya semasa arwah Ixora datang ke rumah tempoh hari, dia sebenarnya sudah tahulah
mengapa aku berada di rumah Hazzar. Pandai betul arwah Ixora berlakon.
“Then?”
soalku.
“She
asked me not to hurt you, your feelings. She kept forcing me to tell you the
truth and stuffs, but it just me who does not want to do it.”
“Why
keep it away from me? I would have understand if you tell me earlier.”
“Because
I don’t want you to use that as a point for a divorce.”
Aku
mencebik, “Kalau awak bagitahu cerita sebenarnya, mestilah saya akan faham.
Hazzar
mengerling wajah aku, “Dan saya akan memerlukan masa seminggu hanya untuk menjelaskan
cerita yang panjangnya hanya tiga minit. Dalam masa seminggu tu, awak mesti dah
paksa saya ceraikan awak.”
“I’m
sorry,” tuturku bernada kesal.
“I’m
sorry too.”
“So
are we going to save this marriage?” tanyaku.
“Well,
I love you.” Tenang sahaja Hazzar meluah.
“I
don’t.” Laju aku menjawab.
“Ah,
that’s bad. But you can try, right?”
Aku
menjongket kening, “Maybe.”
“Come
on, Huzair needs his parents.”
“Are
you really okay to have a 23 years old girl as your wife?” dugaku.
Kening
Hazzar berkerut, “Why? Am I that old for you? I’m just 11 years older. Not too
old, huh?”
“You
should have three kids by now, do you know that? And I am supposed to be
enjoying my flawless period now, without kids.”
“What
can I do? My wife is so far away. How can I have my kid without her?”
“You’re
surely not going to have your kid with me.” Awal-awal aku memberi peringatan.
Memang taklah aku nak ada anak. Aku muda lagi kut.
“What?”
Hazzar seperti tidak berpuas hati.
“I’m
23, man. Chill.” Selamba aku menjawab.
“I’ve
been a virgin for 34 years, girl. How can I chill?”
“Oh
my God, what is this?” Aku terus bangkit daripada dudukku.
“What?”
Hazzar menengadah memandang aku.
“Why
are we even talking about something unappropriate like this? I’m too young for
this.” Aku capai tuala pada rak penyidai kemudian terus sahaja aku masuk ke
dalam bilik air.
Hazzar
ketawa, “You’re my wife, Zaira. You’re my wife.”
Wajah
pada cermin aku pandang lantas aku menampar pipi yang melakukan jenayah besar
terhadap tuannya. Kenapa kau senyum ni, Zaira? Astaghfirullahalazim. Jampi apa
Hazzar letak masa tuam dahi aku tadi?
AKU
tarik sengih setiap kali aku terpandang akan wajah cikgu-cikgu yang pernah
mengajar aku dulu. Serba salah betul aku hendak menatap wajah mereka. Haish,
kalau bukan sebab kasihankan Huzair, tak ada maknanyalah aku akan bersetuju
dengan permintaan Hazzar ini.
“Hmmm,
tak sangka betul cikgu yang awak ni isteri Hazzar,” ujar Cikgu Mastura, cikgu
Bahasa Melayu aku dulu.
“Dah
siap ada anak lagi. Macam mana awak sambung belajar dengan nak mengandung lagi,
nak besarkan anak lagi. Pula tu awak di Dublin, Hazzar di Malaysia,” tokok
Cikgu Mastura lagi.
“Saya
tak adalah mengandung pun, cikgu. Ni anak angkat kami,”
balasku. Dah berapa ramai dah cikgu yang ingat Huzair ni anak kandung aku
dengan Hazzar. Apa muka Huzair ada lebih kurang muka kami ke apa?
“Laaa,
ya ke? Ingatkan anak kamu berdua. Nama Huzair tu ingatkan gabung nama Hazzar
dengan nama Zaira. Manja betul ya dia dengan kamu berdua. Kalau kamu tak
bagitahu ni, memang cikgu tak tahu pun yang Huzair anak angkat kamu.”
“Tapi
anak angkat pun tetap kami sayang macam anak kandung juga, cikgu. Kami anggap
Huzair macam anak kami juga,” kataku.
“Yalah,
baguslah macam tu. Baru kali ni Hazzar nak join aktiviti family day ni.
Selalunya dia tak nak join. Tak sedap hati agaknya berjalan tak bawa
isteri sekali,” kata Cikgu Mastura. Aku sekadar tersengih sahaja.
“Iva
ingat mula-mula tak nak pergi, cikgu. Sebab banyak benda dekat rumah tu tak settle
lagi. Tapi bila fikir fasal Huzair ni, naklah juga bawa dia main pantai. Kesian
dia dah lama tak berjalan,” beritahuku.
“Macam
mana rasanya jadi ibu ekspress?” tanya Cikgu Mastura.
Aku
ketawa, “Mula-mula tu susahlah sikit. Yalah, saya pun bukannya suri rumah
sepenuh masa. Tapi sekarang dah makin okey, alhamdulillah.”
“Maknanya
kamu ni masa ambil SPM dulu dah kahwin dahlah dengan Hazzar ya?” soal Cikgu
Mastura lagi.
“Haah.
Dah enam tahun tiga bulan macam tu. Lama dah.”
“Memang
menjadi betullah kamu berdua rahsiakan. Kami memang tak tahu langsung yang
Cikgu Hazzar dah kahwin. Terkejut betul tadi bila nampak dia bawa isteri dengan
anak.”
“Haaa,
itulah cikgu. Memang semua cikgu terkejut tengok saya datang dengan Sir
Hazzar tadi.” Mustahil aku boleh lupa bagaimana tercengangnya mulut semua cikgu
yang mengenali aku apabila Hazzar memperkenalkan aku sebagai isterinya tadi.
“Kami
ni dekat sekolah tu punyalah selalu kenankan dia dengan cikgu-cikgu praktikal
atau cikgu-cikgu yang baru posting
sebab tak tahu yang dia dah kahwin. Patutlah Cikgu Hazzar tu tak menunjukkan
minat pun dekat mana-mana cikgu baru. Dah ada yang curi hati dia rupa-rupanya.”
Aku
tersengih sahaja melayan bicara Cikgu Mastura. Cikgu Mastura memang banyak
bercakap orangnya. Sudah semula jadinya dia ditarbiah begitu, takkanlah
tiba-tiba aku nak suruh dia berhenti bercakap pula?
“Ummi!”
Tertoleh kepala aku memandang Huzair yang sedang berlari mendapatkan aku.
Bersusah payah dia berlari di atas pasir pantai begitu.
“Ummi,
jomlah tengok!” Huzair sudah memaut tangan aku.
“Tengok
apa ni?”
“Tengok
papa. Papa main bola.”
“Papa
main bola, Huzair main apa ni? Main pasir?” Aku menepuk-nepuk seluarnya yang
melekat dengan pasir. Huzair tersengih merenung aku.
“Jomlah,
ummi. Jomlah.” Huzair sudah mula menarik tangan aku.
“Yalah,
yalah.” Aku bangkit daripada dudukku.
“Cikgu,
saya minta diri ya?” pintaku kepada Cikgu Mastura.
Cikgu
Mastura tersenyum seraya mengangguk.
Aku
membontoti langkah Huzair. Gigih dia membawa aku ke dalam kawasan resort dan
segera kami mengambil tempat duduk apabila kami sudah tiba di gelanggang.
“Tu
papa tu!” Beria-ia Huzair menunjuk kepada aku di mana Hazzar sedang berada
kini.
“Ya,
papa tu.”
“Papa
main apa tu, ummi?”
“Bola
keranjang.”
“Ohhh...”
Huzair mengangguk-angguk dengan mata yang masih khusyuk memerhati ke arah
gelanggang.
“Oh,
look! They’re taking the ball!” kata Huzair. Dia menoleh memandang aku,
barangkali dia menginginkan aku melihat ke arah itu juga.
“Yes,
they need to take the ball to score it so that they can win,” ujarku supaya
Huzair lebih jelas.
“Papa!
Take the ball, papa! Take the ball!” Huzair sudah melaung. Beberapa pasang
mata yang sedari tadi sedang menonton perlawanan kini sedang memandang ke arah
kami. Aku tersengih sahaja kepada mereka. Harap faham jiwa wanita yang ada anak
kecil.
Seronok
benar Huzair memerhatikan papanya.
“Be
careful, Huzair.” Aku mencapai lengan Huzair. Bimbang benar kalau dia
terjatuh dari tangga ini dek terlalu teruja.
“Look,
ummi, look! Papa has the ball!”
“Ya,
papa has the ball.”
“Go
papa, go!” Huzair terus-terusan memberi sokongan.
“Yeay!
Papa scored!” Huzair menepuk tangan dengan gembira. Aku tersenyum melihat
kegembiraan yang terpancar pada wajah Huzair lantas aku mengalih pandang ke
arah Hazzar. Dia sedang tersenyum dan melambai ke arah kami kini.
“Papa!”
Huzair membalas lambaian itu. Aku pula setakat tersenyum sahaja.
“Ummi...
Bye papa tu!” Huzair menarik tangan aku, menggesa aku untuk turut
melambai. Haaa, macam nilah kalau dah ada anak. Maka tak peliklah kenapa
hubungan aku dengan Hazzar semakin mesra dari hari ke hari. Semuanya kerana
melayan sikap Huzair. Pantang nampak ummi dan papa dia berjalan tak pegang
tangan, mesti sahaja nak menegur. Pantang nampak ummi dia lupa nak salam papa
dia sebelum papa dia pergi kerja, mesti ummi dia kena bebel dengan mulut kecil
dia tu. Apalah nasib dapat anak banyak cakap macam Huzair ni.
Aku
menarik senyum dan mengangguk kecil pada Teacher Zarina, cikgu Bahasa Inggeris
aku yang sedang memandang ke arah kami, atau lebih tepat memandang keletah si
Huzair.
“Huzair,
duduk sini elok-elok. Nanti Huzair terjatuh,” ujarku. Huzair patuh. Duduknya
dilabuhkan di sebelahku. Aku mengelap peluh yang terbit pada anak rambutnya.
Kulitnya yang putih sudah kemerah-merahan.
“Huzair
nak air?” tanyaku. Huzair ni kena ditanya apa yang dia nak. Jarang-jarang sangat dia nak bagitahu dia haus ke lapar ke
kalau dah ralit sangat buat sesuatu.
“Nak.”
Huzair mengangguk.
Aku
terus mengeluarkan botol air dari dalam beg tangan aku. Sekarang ni jangan
haraplah nak dapat beg tangan seindah dahulu. Adalah dua tiga mainan Huzair
akan tersesat masuk dalam beg tangan aku. Belum kira lagi botol susu dia atau
coklat dia yang dia tak habis makan kemudian dia bagi kepada aku. Kadang-kadang
aku akan habiskan, tapi bila aku dah kenyang, aku akan sumbat ke dalam beg
tangan aku. Lepas tu bila balik ke rumah, lupa nak keluarkan. Paling dahsyat,
selepas seminggu barulah aku perasan ada coklat Huzair yang dah cair di dalam
pembalutnya yang terselit dalam beg tangan aku. Mujurlah coklat yang cair itu
tidak mencemarkan kesucian beg tangan aku. Kalau tidak satu kerja pula nak
menghapuskan segala lemak coklat itu.
Perlawanan
tamat akhirnya. Sedangkan aku dan Huzair yang menonton ni pun berpeluh-peluh
dek kehangatan cahaya matahari petang, inikan pula cikgu-cikgu dan anak-anak
remaja yang bermain tu.
Aku
memimpin Huzair untuk turun ke bawah semula. Sebaik sahaja kaki memijak lantai
gelanggang, terus sahaja dia berlari mendapatkan papanya. Haaa, pergilah,
pergi. Pergilah berdukung dengan papa tu. Memang anak manja papa pun. Seperti
biasa, aku ni baru tiga bulan kut dia kenal. Jangan mimpilah nak dia sayang aku
lebih-lebih.
Sebelum
sempat aku mendekati mereka, tiba-tiba sahaja ada seorang wanita menghampiri
Hazzar dengan senyum yang lebar pada bibirnya dan wanita itu menghulurkan sebotol
air mineral kepada Hazzar. Kalau tidak salah aku, cikgu inilah cikgu baharu
yang dikenalkan oleh Cikgu Mastura kepada aku sewaktu kami baru tiba awal pagi
tadi. Cikgu Darya namanya kalau tidak silap aku, mengajar subjek Pendidikan
Seni. Dan seingat aku, Cikgu Darya masih bujang. Hai, berani betul ya mengurat
suami aku depan mata aku. Kalau dekat belakang aku entah macam manalah gayanya.
“Tak
sangka yang sir ni pandai main bola keranjang.” Amboi, puji melambung
suami aku nampak?
“Biasa-biasa
saja, cikgu.” Hazzar merendah diri.
Tidak
pula Hazzar menyambut huluran Cikgu Darya itu. Dah beberapa detik dah aku lihat
Cikgu Darya menghulurkan botol air itu.
“Huzair
nak boleh?” tutur Huzair lantas terus sahaja dia mengambil botol air yang
dihulurkan oleh Cikgu Darya itu. Sumpah aku rasa hendak ketawa tatkala melihat
air muka Cikgu Darya yang terkilan melihat botol air yang sudah selamat dipeluk
Huzair. Ya Allah, anak siapalah yang pandai sangat tu?
“Oh,
yalah kan, sir kan coach team basketball sekolah!” Cikgu Darya
seperti baru teringat akan hakikat yang satu itu.
“Abang...”
Nampak tak drama aku tu? Punyalah lembut suara aku yang keluar untuk menyeru
Hazzar. Siap pegang lengan dia lagi. Kalau bukan sebab Cikgu Darya ni,
alamatnya sampai tahun depan pun belum tentu lagi aku nak panggil Hazzar dengan
panggilan abang.
Aku
hulur senyum semanis pavlova kepada Hazzar. Dia pun melayan drama aku, balas
balik dengan senyum berlesung pipitnya.
“I’m
proud of you.” Harap-harap Hazzar nampaklah apa yang sedang cuba aku
lakukan sekarang ini.
Bertambah
lebar senyumnya, bertambah dalam lekuk lesung pipitnya, “I know.”
“Errr,
saya pergi dululah.” Haaa, akhirnya terkeluar juga ayat yang aku tunggu sedari
tadi dari mulut Cikgu Darya.
“Okey,
Cikgu Darya. Malam nanti kita jumpa lagi, ya?” ujarku dengan senyum palsu. Aku
rasa Cikgu Darya pun perasan seikhlas mana senyuman aku tadi. Sempat pula tu
dia jeling wajah aku dengan hujung matanya. Hei, panas betul rasa hati. Nasib
baiklah kau tak pernah mengajar aku, senang sikit aku nak pedajal kau nanti!
“Haaa,
fikir apa tu?” Terus sahaja aku menoleh memandang Hazzar. Agaknya dia nampak
kut tingkah aku yang sedang mengetap-ngetap bibir menahan geram.
“Dia
tu memang spesies gedik macam tu ke apa?” Aku menggetus.
Hazzar
ketawa, “Dengan suami awak ni saja.”
Aku
mencebik, “Nasib baik tangan tu tak sambut botol air yang dia bagi tadi. Kalau
tak, saya balik Melaka naik bas malam ni.”
“Ya
Allah, cemburu sampai merah-merah muka. Kesiannya isteri saya ni.” Hazzar
mengusap-usap pipi aku dengan ibu jarinya.
Aku
menepis tangannya lantas mata aku jegilkan, “Boleh tak jangan buat macam ni?
Malu saya nak pandang cikgu-cikgu saya, faham tak?”
“Nak
malu apa? Kita bukannya buat dosa pun,” kata Hazzar.
Aku
mengetap bibir. Memanglah tidak berdosa, tapi aku malu dengan cikgu-cikgu aku.
“Tu,
awak tengok Cikgu Mastura dengan suami dia...” Aku berkalih pandang ke arah
mereka yang dimaksudkan oleh Hazzar.
“Dah
dua puluh tahun kahwin pun masih lagi lapkan peluh suami dia, bagi botol air
dekat suami dia...” kata Hazzar.
“Untung
suami dia...” ujar Hazzar lagi. Aku menjatuhkan pandangan memandang lantai
gelanggang.
“Saya
ni mampu berangan sajalah nak isteri saya buatkan macam tu...” Aku terus
memandang Hazzar lantas sapu tangan aku keluarkan dari dalam poket baju T
muslimah yang aku pakai. Sapu tangan milik Huzair.
“Kesian
anak ummi ni, peluh-peluh tengok papa main bola keranjang kan?” Aku lap peluh
pada wajah Huzair.
Terkekek-kekek
Huzair ketawa. Barangkali dia faham benar bahawasanya tindakan aku mengelap
wajahnya itu adalah rentetan daripada perbualan aku dengan papanya.
Hazzar
mengukir senyum sambil merenung wajah aku.
“I
love you.” Senafas dia menutur.
Terus
termati pergerakan tangan aku dibuatnya. Entah mengapa, kedua-dua belah pipi
terasa hangat secara tiba-tiba.
“Apa?”
Aku menengadah.
Semakin
lebar senyum Hazzar. Senyum mengusik miliknya, “Saranghae.”
Aku
ketawa, “Oh, sejak bila Sir Hazzar jadi cikgu Bahasa Korea ni?”
“Sejak
isteri dia balik dari Dublin dan setiap hari dia layan cerita Korea,” kata
Hazzar.
Aku
tersenyum, “Jeonun oppareul johahaeyo.”
“And
what is that supposed to mean?”
Aku
senyum penuh makna, “Teka.”
“Melalui
cara senyum tu, saya rasa awak cakap, saya handsome macam oppa dalam
drama korea tu.”
Meletus
tawa aku setelah mendengar bicara Hazzar itu, “Ya Allah, perasannya!”
“Eh?
Tak betul ke?”
“Mimpi
sepuluh kali dululah, nak saya puji awak,” getusku.
“Dah,
jom.” Tiba-tiba sahaja tanganku diraih oleh Hazzar.
“Nak
pergi mana?”
“Mandi
pantai!” Huzair sudah menjerit penuh keterujaan.
“Hah?!”
Aku terkejut. Terlalu terkejut.
“Jom,
ummi!” Hazzar menarik tangan aku. Terpaksa jua aku melangkah mengikut langkah
kakinya. Astaghfirullahalazim, dua orang makhluk Allah ni. Boleh ya mereka buat
komplot belakang aku? Maknanya tak gunalah segala larangan mandi pantai yang
aku bebelkan kepada Huzair tadi?
MALAM
itu, aktiviti barbeque dijalankan.
Kaum
lelaki sibuk memanggang dan membakar manakala kaum perempuan tukang makan. Maklumlah,
yang perempuan sudah berusaha gigih menyediakan segala bahan untuk dimasak
malam ini.
“Haaa,
dah sampai pun budak bertuah tu!” Suara Cikgu Mastura tiba-tiba sahaja menampar
gegendang telinga aku. Mak ai! Kuat betul cikgu bercakap! Nak bercakap dalam
kelas ke apa ni?
Segera
aku mengangkat muka dan memandang ke arah yang sama mata Cikgu Mastura sedang
mengarah. Kedua-dua belah mataku terus sahaja membundar. Segera aku menundukkan
semula wajah dan menarik tudung aku supaya wajahku dapat dilindungi. Dalam
fikiran sudah terbayang semula segala jenayah yang Maysa pernah buat kepada aku
semasa kami berada di tingkatan satu dahulu.
Ya
Tuhan! Harap-haraplah dia tidak kenal aku!
Aku
turunkan semula tudung untuk mengintai tingkah lelaki itu. Malang sungguh nasib
aku apabila lelaki itu nampaknya sedang melangkah ke mari. Ah! Barangkali dia
mahu berbicara dengan Cikgu Mastura yang duduk di sebelah kiriku ini.
Wajah
terus-terusan aku tundukkan. Telinga aku begitu peka mendengar isi perbualan
dua orang hamba Allah itu.
Dan
tiba-tiba, “Haaa, Hakimi... Ini junior
kamu masa sekolah dulu...” Cikgu Mastura pegang bahu aku.
“Tak
tahulah kamu sempat ke tidak dengan dia,” tokok Cikgu Mastura lagi.
“Siapa
ya?”
Aku
menghembus nafas berat. Terpaksa juga aku menengadah dan senyum kecil aku
hulur.
Berkerut-kerut
keningnya memerhatikan wajah aku lantas tidak lama selepas itu, dia mengukir
senyum.
“Kawan
Maysa, kan?”
Aku
menarik sengih serba salah, “Haah.”
“Adiva,
ya?” tanya Hakimi lagi.
Aku
mengangguk hendak tidak hendak.
“Ya
Allah, tak sangka memori ni masih elok lagi. Dah tua ni lain pula muka awak,”
kata Hakimi.
“Memanglah
lain, nama pun dah tua.”
“Awak
ni dulu yang letak ucapan semoga berjaya untuk SPM dalam buku teks KOMSAS saya
tu, kan?”
Aku
terkesima mendengar bicaranya. Huh! Pengsan mak! Cikgu-cikgu yang duduk di
sekeliling aku sedang memerhatikan aku seperti ingin menelan.
Untuk
menghapuskan riak wajah pesalah pada wajahku, aku menghamburkan tawa, “Mana
adalah!”
Bersungguh-sungguh
aku menggeleng.
“Adalah.
Ni, saya simpan lagi.”
Aku
tercengang apabila melihat tangannya yang bergerak untuk mengeluarkan dompet
dari dalam poket seluarnya di bahagian belakang. Setelah apa yang dicarinya
ditemui, terus sahaja dia menghulurkan kertas berlipat itu kepada aku. Kertas
berwarna merah siap ber-laminate
lagi.
Terus
sahaja aku membaca tulisan yang tertera pada kertas itu.
Sah!
Memang kertas yang Maysa guna untuk pedajal aku.
“Oh,
yang ini!” Aku berpura-pura seperti teringat akan sesuatu.
“Ni
memang saya yang tulis untuk bagi dekat kakak angkat saya. Tapi disebabkan
kertas ni terlepas ke tangan orang yang salah, maka sampainya pun ke orang yang
salahlah.” Aku ukir senyum nipis.
“Maksud?”
“Kita
cakap dekat tempat lain boleh tak?” pintaku. Sesungguhnya aku betul-betul tidak
selesa apabila perbualan kami boleh didengari oleh orang lain.
“Okey.”
Segera
aku bangkit daripada dudukku dan menapak menjauhi tempat mereka yang lain
berkumpul. Aku memilih tempat yang bercahaya untuk kami berdua berbual.
“So, apa yang awak nak cakap?”
“Kenapa
simpan lagi kertas ni?” tanyaku.
Hakimi
tersenyum, “I don’t know. It seems to be
special to me. Setiap kali saya rasa putus asa, ucapan ini akan menjadi
penawar untuk saya, membuatkan saya kembali bersemangat.”
Aku
melepaskan keluh perlahan, “Maysa yang tulis ni. Dia guna nama saya. Saya minta
maaf sebab dah wujudkan salah faham ni,” tuturku.
“And why would she do that?” soal Hakimi.
Aku
memejamkan mata seketika, “I know that
what I am about to tell you seems to be ridiculous, but this is the truth.
Maysa suka awak. Tapi masalahnya, cara awak layan saya dulu buat dia fikir yang
awak sukakan saya. Jadi dia guna nama saya, instead
of nama dia untuk beri ucapan kepada awak.”
“Wow.” Hakimi seperti terkejut mendengar
cerita aku.
“Drama
budak perempuan memang macam tu. Saya minta maaf.”
“Saya
tertanya-tanya sekarang ni, adakah semangat saya muncul semula disebabkan nama
pengirim yang terdapat pada kertas itu, atau kata-katanya?” kata Hakimi dengan
renungan yang terpaku pada wajahku.
“Pasti
sebab kata-kata tu,” ujarku.
“Tapi
kenapa saya rasa, nama pengirim tu puncanya?” soal Hakimi.
Aku
terdiam.
“Awak
cikgu di sekolah?” soalku, sengaja ingin mengubah topik perbualan.
Hakimi
mengangguk, “Awak? Buat apa?”
“Teman
suami sambil-sambil bawa anak jalan-jalan,” jawabku.
“Suami?
Siapa?” tanya Hakimi.
“Sir Hazzar.”
“Wow,
you’re married and you have a child? Dah berapa tahun kahwin?” soal Hakimi.
“Enam.”
Kening
Hakimi bergerak. Aku nampak jari-jemarinya bergerak seolah-olah dia sedang
membuat pengiraan.
“Actually
saya kahwin sebelum SPM lagi and Sir Hazzar is actually my cousin.”
Hakimi
ketawa, “I thought you guys were dating or something.”
Aku
ketawa kecil, “Nonsense.”
“Then
why marry him?” soal Hakimi.
Aku
tersenyap. Sumpah aku tidak pasti apa jawapan yang tepat buat soalan ini.
“Errr...”
Terkulat-kulat aku ingin menjawab.
“Because
I want to be with him...” Aku menghela nafas seketika. Keyakinan dalam diri
aku tebalkan.
“I
want to stay beside him through his ups and downs... I want to learn how love
felt like by being with him till my last breath. I want to discover new things
in my life ahead with him by my side.”
“Hmmm.
That sounds sincere. And sweet too,” kata Hakimi.
Aku
tersenyum.
“May
Allah bless your marriage.”
“Thank
you,” ucapku.
“There
you are, ummi.” Suara kecil yang menyapa itu membuatkan aku terus
berpaling. Eh, eh budak ni. Merata dia berjalan cari ummi dia? Tangan kirinya
terus aku capai dan aku genggam erat.
“Well,
hello. Who is this supposed to be?” soal Hakimi. Dia sudah merendahkan
tubuhnya dan menggosok rambut Huzair.
Huzair
menghulur tangan untuk bersalaman dengan Hakimi.
“Huzair
Halawah, anak ummi,” kata Huzair bernada yakin. Rajin benar dia memperkenalkan
dirinya sendiri.
“Ya
ke anak ummi? Bukan anak papa ke?” ujarku.
Huzair
mengukir sengih, “Nak manja-manja anak ummi, nak main-main anak papa,” kata
Huzair.
Meletus
tawa Hakimi dibuatnya, “Such an adorable son you have over there, Zaira. I’m
so jealous of you. Muda-muda dah ada anak. Saya ni calon nak dibuat isteri
pun tak nampak bayang lagi,” kata Hakimi.
“Boleh
cuba Maysa,” ujarku.
“She
still likes me?”
“The
last time I talk to her which was two weeks ago, yes, she still likes you.
You’re her first high school crush. There’s no way she could just dump you like
that.”
“Dia
tengah buat apa sekarang?”
“Baru
dapat kerja tiga minggu lepas. Sekarang tengah gigih bekerja, tak terfikir nak
cari kekasih lagi. Bolehlah kalau nak masuk line. Nanti saya bagi nombor
telefon.”
Hakimi
mengukir senyum mendengar tawaran aku.
“Boleh
juga tu. Terima kasih.”
Aku
mengangguk.
“Saya
ke sana dulu. Tolong kaum Adam yang lain.”
“Sekejap.
Awak mengajar apa?” soalku.
“Cikgu Add Math,” ujarnya seraya dia menapak menjauhiku.
Oh,
patutlah. Sir Ismail dah pencen. Jadi Hakimi lah penggantinya.
“SIAPA
tu?” Baru sahaja nak terlelap, telinga disapa dengan soalan daripada
Hazzar.
Aku
menoleh ke kanan, “Apa?” soalku.
“Hakimi.”
“Oh,
senior dulu, masa saya tingkatan satu, dia tingkatan lima.”
“Nampak
macam rapat.”
“Crush
Maysa tu. Memanglah rapat.”
“Ya
ke?” Nada suara Hazzar kedengaran seperti dia benar-benar meragui kejujuran
aku.
Aku
tersengih, “Taklah, dulu rapat sebab satu kelab dengan dia. Saya AJK tingkatan
satudulu. Dia pula masa tu pengerusi. And dia memang crush Maysa
pun.”
“Dia
simpan lagi kertas tu, ya?”
Kening
aku sudah berkerut. Segera aku iringkan tubuh ke sebelah kanan, mataku sibuk
menekuni setiap lekuk pada wajahnya.
“Hazzar...”
seruku perlahan. Tangan kiri sudah naik menyentuh wajahnya. Pipinya aku usap
dengan ibu jariku.
“Hmmm...”
Dia mengerling wajahku sekilas.
“Awak
cemburu,” ujarku.
“Ya,
saya.”
Aku
ketawa kecil, “Don’t be. Believe me.”
Hazzar
mengiringkan tubuhnya menghadap aku kini. Tanganku yang berada pada pipinya
disentuh olehnya. Dia merenung mataku lantas menutur, “How can I when I don’t know who am I in your life and where is my place
in your heart?”
Aku
menghela nafas dalam, “Lima tahun berpisah dengan awak, dalam keadaan saya
tidak tahu apa hala tuju hubungan kita pun saya masih menjaga hati saya dan
diri saya kerana saya sedar yang saya bersuami. Dan kini apabila saya sudah
mengetahui apa hala tuju hubungan ini, adakah awak rasa yang saya akan
membelakangkan awak?” soalku.
“I just don’t feel confident.”
“Why?” soalku, lembut.
“Awak
tak yakin dengan saya?” tanya aku.
“No!” Laju sahaja Hazzar menggeleng.
“Then?”
“I don’t think that you will ever love me.”
Hati
aku tiba-tiba terasa menjauh. Aku tarik tangan aku daripada terus memegang
pipinya. Sampai hati dia kata begitu?
“Enam
tahun awak bertahan, kemudian baru tiga bulan kita sedang berusaha dan kini awak
mahu mengalah?” tanyaku.
“Zaira...”
Dia menutur perlahan. Tangannya menjangkau untuk mencapai tanganku namun pantas
sahaja aku melarikan tangan aku ke belakang tubuh.
“Saya
tak tahu bagaimana kita hendak bertahan sehingga ke helaan nafas yang terakhir
jika awak mengalah secepat ini.” Segera aku bangkit daripada pembaringanku dan
aku mengorak langkah mendekati pintu gelangsar dan menolak pintu itu. Aku
melangkah keluar ke ruang balkoni. Angin malam terasa menampar-nampar lembut
tubuhku.
Bintang
yang berserakan di langit aku pandang. Huh... Adakah aku yang bersalah dalam
hal ini? Adakah mungkin kerana perbezaan usia yang begitu jauh antara kami yang
membuatkan Hazzar tidak rasa bahawa aku akan mencintainya? Adakah dia lemas
dengan aku yang terlalu muda? Adakah dia lemas dengan sikap aku yang barangkali
tidak matang menurut pandangannya?
Tiba-tiba
sahaja ada tangan yang datang dari arah belakang menyentuh dahiku kemudian
tidak semena-mena, sepasang tangan itu bergerak mengikat simpul rambutku. Usai,
sehelai kain dapat aku rasakan jatuh pada kepalaku kemudian dililit ke
belakang.
Selesai
segalanya, sepasang tangan itu meliar pula melingkari pinggangku kemudian
tubuhku ditarik merapat dengan tubuhnya. Dapat aku rasakan hangat tubuhnya
menyentuh bahagian belakang tubuhku. Pelukannya pada tubuhku dikemaskan lagi
seraya dia melabuhkan dagunya pada bahuku. Aku kaku dengan perasaan yang sudah
lama terbuai dek tersentuh dengan usahanya. Teringat pesan yang selalu dia
titipkan kepadaku, walaupun kita yakin yang orang takkan nampak aurat kita,
tapi berwaspadalah untuk worst case.
Setiap kali keluar rumah, atau berada di rumah yang bukan mahram kita, tutuplah
aurat.
“I love you.” Gemersik suaranya menampar
gegendang telingaku.
“Just love you...” Dia menutur lagi.
“So much.” Dan lagi.
Aku
diam. Sesungguhnya untuk membalas, tidak mungkin sama sekali. Kerana pada
ketika ini, aku masih belum pasti bagaimana sebenarnya yang dimaksudkan dengan
cinta. Dan mungkin, aku terlalu takut untuk dikecewakan oleh cinta. Seperti apa
yang pernah terjadi kepada Kak Hayfa dulu.
Tangan
aku bergerak menyentuh tangannya yang sedang memeluk tubuhku. Wajah aku
palingkan ke kanan. Sepantas itu juga, kucupan hangatnya hinggap pada pipiku
membuatkan jiwa aku semakin terbuai dengan tingkahnya.
“Saya
cuma tertanya-tanya, with this age gap... Will
you ever love me?” ujar Hazzar. Aku senyap lagi.
“Muka
saya ni dah mula ada kedutan halus tau,” kata Hazzar.
Aku
tersenyum mendengar tuturnya.
“Rambut
pun tak lama lagi nak beruban dah.”
“Asal
awak yang tua dulu dan saya kemudian, then
it’s okay for me.”
Aku
tahu Hazzar sedang tersenyum kini hanya dengan mendengar cara dia menghembus
nafas.
“Awak
tak pernah ragu?” tanya Hazzar.
“Apa?”
“Tentang
cinta saya?”
Aku
terdiam kemudian aku menyoal. “Awak mahu saya ragu?”
“Tidak,
sayang.”
“Jadi,
kenapa tanya?”
Hazzar
menghela nafas dalam, kedengaran berat pada telingaku.
“Jiwa
yang masih muda, sentiasa mahukan sebab atas sesuatu perkara. Masih cuba
mencari kebenaran. Saya fikir awak juga begitu.”
“Buat
apa mahu mencari kebenaran jika saya sudah nampak semuanya terhidang di hadapan
mata saya?” tanyaku.
“Apa
yang awak nampak?”
“Betapa
jujurnya awak mencintai saya,” tuturku.
“Bagaimana?”
“Awak
menjaga diri saya dan awak menjaga diri awak, for a better us.”
Hazzar
diam selepas itu. Hanya nafasnya yang kedengaran menderu tenang.
“Saya
dah tahu kenapa saya tak pernah nampak perasaan awak.”
“Uhuh?”
“Yes, sebab saya tak pernah cuba faham
awak, selami hati awak, tak pernah cuba pandang awak dengan pandangan yang
jernih. Like what you’ve said before, you
love me from a long time ago.”
Aku
menoleh ke kanan lagi. Sekali lagi, Hazzar mengucup pipiku. Entah mengapa malam
ini aku boleh mengizinkan dia melekapkan bibirnya pada kulitku. Sebelum ini,
jangan mimpilah. Setakat nak sentuh dengan tangan aku bagilah. Tapi dengan
bibir, memang aku tolak mentah-mentah.
“You know...” tuturku lagi.
“What?” soalnya.
“I know why you have no girlfriend with the
letter Z.”
Hazzar
ketawa kecil, “Of course. You’re my only
girlfriend with the letter Z.”
Aku
tersenyum.
“Nak
tahu?”
“Apa
dia?”
“Adiva, my first love. Zaira, my last love.”
“Adiva
Zaira?” tanyaku. Sengaja ingin menduga tahap kekreatifannya.
“My first and last wife,” ucapnya.
Aku
sembunyi senyum.
“Hazzar...”
“Yes?”
“I like you was what I said to you this
evening,” kataku.
“I like you too.”
“You love me.” Aku memperbetulkan.
“That is undeniable.” Hazzar mengeyakan.
“I
will tell you.”
“What?”
“The
time that I fall for you, I will tell you...” kataku.
Hazzar
senyap sahaja.
Aku
meleraikan tangannya yang sedang memeluk tubuhku seraya aku berpusing
menghadapnya. Wajahnya aku apit dengan kedua-dua belah tanganku lantas mataku
merenung tepat ke dalam matanya.
“Don’t
worry, you don’t have to wait until you’re 35. It’s near already,” ujarku
dengan senyuman manis.
Hazzar
mengukir senyum. Sekali lagi tangannya melingkari pinggangku lantas dia menarik
aku rapat ke tubuhnya.
Dia
merendahkan kepalanya sebelum bibirnya hinggap pada dahiku.
Bibirnya
menjauh sejenak.
“My
wife, Zaira...” bisiknya perlahan sebelum dia mengucup ubun-ubunku pula. Kali
ini kucupannya singgah lebih lama. Usai, tubuhku ditarik pula ke dalam
pelukannya.
Aku
terpana. Mengapa lain benar tingkah Hazzar pada malam ini?
Lambat-lambat
tanganku bergerak memeluk tubuhnya. Entah mengapa, aku turut memeluknya erat
bagai aku tidak ingin melepaskan tubuhnya pergi. Berat benar terasa hati pada
malam ini. Entah mengapa agaknya.
“SAYANG.”
Aku
memandang Hazzar yang baru sahaja turun dari atas.
“Hari
ni awak jemput Huzair boleh?”
“Kenapa?”
soalku sambil meletakkan mangkuk berisi bihun goreng di atas meja. Aku berlalu
ke dapur pula untuk mengambil muk berisi minuman milo untuk Huzair.
“Saya
ada meeting sampai pukul lima. Lepas tu ada training basketball
budak-budak ni sampai pukul tujuh,” tutur Hazzar sambil mengemaskan kepala tali
lehernya. Sementara Hazzar menutur, aku menyendukkan bihun goreng ke dalam
pinggan untuknya.
“Oh,
okey. Nanti mesti dia bising lagi sebab ummi dia jemput lambat,” ujarku. Hazzar
ketawa kecil.
“Dinner
nak makan apa?” tanyaku. Aku sudah berpusing menghadapnya.
“Anything
will do.” Hazzar memang tidak cerewet dalam bab makanan. Tak pernah pun
merungut aku masak kurang masin atau kurang pedas. Katanya, makan ni bukan
sebab nak sedap saja. Makan untuk meneruskan hidup semata-mata, bukan untuk
memenuhi kehendak nafsu. Katanya juga, bersyukur kita ni masih boleh makan
serba-serbi cukup semua kumpulan makanan. Ramai lagi yang tidak seberuntung
kita.
“Okey,
saya siapkan Huzair sekejap.”
Hazzar
mengangguk lantas dia melabuh duduk di atas kerusi untuk bersarapan.
Nampak
tak betapa kecohnya pagi aku kalau dah dua-dua bekerja begini? Hazzar perlu
keluar lebih awal berbanding aku. Aku perlu menyiapkan serba-serbi untuk dia,
kemudian menyiapkan Huzair seterusnya barulah aku ada masa untuk pandang diri
aku.
“Zaira,
saya nak pergi dah.”
“Sekejap!”
Terus aku dukung Huzair yang baru selesai berpakaian untuk ke tingkat bawah
bersama-samaku. Huzair masih buruk mood-nya. Monday blues
barangkali. Sewaktu aku dukung dia pun, melepek sahaja kepala dia melekat pada
bahuku.
Aku
mendekati Hazzar yang berada di luar rumah lantas tangannya aku salam. Dah jadi
rutin dah sejak Huzair membebel dulu.
“Salam
papa, Huzair,” ujarku apabila aku lihat Huzair tidak bergerak langsung untuk
memandang Hazzar.
Huzair
memandang Hazzar sekilas sebelum dia sembunyikan wajahnya pada bahuku.
“Tak
nak...” Dia gosok matanya beberapa kali. Bibirnya masam mencuka.
“Anak
papa ni kenapa bad mood ni?”
“Merajuklah
papa tak boleh jemput dia hari ni,” bisikku perlahan.
“Ohhh...”
Hazzar membuat gerak mulut.
Hazzar
mendekatkan wajahnya dengan Huzair lantas pipi Huzair dikucup, “Sayang papa...” bisiknya perlahan.
Huzair
palingkan wajahnya ke sebelah kiri pula.
“Marah
betul,” bisik Hazzar.
“Tak
apa, saya pujuk nanti. Awak pergilah.”
Hazzar
mendekati aku sebelum tubuhku ditarik ke dalam pelukannya. Terkejut aku. Tak
pernah-pernah dia buat macam ni pagi-pagi.
“Why?”
soalku.
“I
miss you.”
Spontan
aku tersenyum.
“Dah
ada depan mata pun rindu?” tanyaku.
“Yeah...
Take care, Zaira.” Hazzar terus meleraikan pelukannya. Dia sudah menapak
mendapatkan motosikalnya.
“Hazzar,”
ujarku dengan mata yang terfokus pada wajahnya.
“Ya,
Zaira?”
“You
left something,” tuturku sambil menapak mendekatinya.
Kening
Hazzar berkerut, “What?”
“This.”
Aku mengucup dagunya sekali lalu.
Hazzar
pandang aku dengan riak wajah terkejut.
“What
was that?” soal Hazzar.
“Your
wife’s lips.” Aku mengukir senyum manja sebelum berlalu pergi.
“Drive
carefully, Hazzar.” Sempat aku berpesan sebelum aku menutup pintu rumah.
BERPELUH-PELUH
aku berlari untuk mendapatkan kereta. Oh-hoi! Macam mana aku boleh terlupa
yang aku kena jemput Huzair hari ni? Merajuk lagilah dia nampaknya!
Sepatutnya
aku kena keluar dari klinik tu pukul 4.15 tadi untuk jemput dia. Tak adalah
jalan jammed bagai nak gila macam sekarang ni. Tak fasal-fasal
perjalanan yang sepatutnya memakan masa sepuluh minit dah jadi 30 minit!
Pukul
enam petang barulah aku terpacak di hadapan taska. Terkocoh-kocoh aku keluar
dari kereta. Segera aku melangkah ke rumah yang terletak di sebelah taska dan
menekan loceng rumah tersebut. Langsir yang menutupi pintu gelangsar dapat aku
lihat diselak dari dalam. Aku melambai sedikit.
Tidak
lama selepas itu, Kak Ruhayna keluar dari rumah dengan tangan yang memimpin
tangan Huzair. Aku lihat wajah Huzair masam mencuka. Maafkan ummi, sayang.
“Merajuk,”
kata Kak Ruhayna.
Aku
menarik sengih.
“Dekat
klinik tadi tak ada kawan yang selalu back-up tu. Dia demam pula. Tak
menang tangan saya nak urus semuanya sendiri sampaikan boleh terlupa nak jemput
Huzair,” kataku. Terus sahaja aku menghulurkan tangan supaya Huzair
menyambutnya.
Melayan
rajuknya, Huzair tidak menyambut tangan aku. Dia bersalaman dengan Kak Ruhayna
sebelum selamba dia menapak ke kereta dan masuk ke dalam kereta aku. Eh, kereta
Hazzar. Aku belum mampu lagi nak beli kereta sendiri.
“Terima
kasih, kak. Saya minta diri dulu,” ucapku lantas aku turut bersalaman dengan
Kak Ruhayna.
Masuk
sahaja ke dalam kereta, aku pandang si kecil yang panjang muncungnya.
Tak
mahu mengganggu dia yang sedang merajuk, aku terus memulakan pemanduan. Si
kecil ni kalau dah merajuk, susah betul nak pujuk.
“Huzair...”
Perlahan aku menutur namanya.
Dia
tak layan aku.
“Kita
pergi pasar malam nak?” tanyaku.
Okey,
mata Huzair dah mula menjeling wajah aku.
“Ummi
ingat nak beli apam balik yang nipis tu.” Disebabkan aku tahu yang Huzair
memang suka apam balik nipis tu, maka aku goda dia.
“Ummi...”
tutur Huzair. Dia dah memandang ke hadapan semula.
“Ya,
sayang?” sahutku.
“Kuku
Huzair dah panjang.”
“Eh,
ya ke? Ummi tengok pagi tadi pendek aje?” ujarku. Selama tiga bulan aku jaga
Huzair, aku tak pernah terlepas pandang bab kuku dan rambut dia. Seminggu
sekali aku potong kuku dia, setiap hari Jumaat. Rambut dia pun sebulan sekali
Hazzar bawa dia ke kedai untuk dipotong rambutnya.
“Malam
ni nak tidur dengan ummi,” kata Huzair pula. Oh, si kecil ni rindukan aku
gamaknya. Patutlah pagi tadi nak melekat sahaja dengan aku. Patutlah juga
terasa benar dia apabila aku lambat menjemputnya hari ini.
“Memanglah
hari-hari tidur dengan ummi.” Biasalah, Huzair si benteng yang duduk di
tengah-tengah antara aku dengan Hazzar.
“Tak
nak. Malam ni nak tidur dengan ummi seorang saja.”
“Okey,
nanti Huzair pujuk papa, tau?” kataku.
Huzair
diam sahaja.
“Ummi
minta maaf, sayang sebab jemput lambat tadi. Ummi sibuk sangat buat kerja tadi.
Uncle Leon pula demam sampai ummi tak teringat nak jemput Huzair. Ummi
minta maaf...” ucapku.
“Tak
apa, Huzair sayang ummi,” kata Huzair. Kemudian tidak semena-mena dia mencapai
tangan kiriku lalu mengucupnya. Sebak terasa hati. Anak ini tidak ada pertalian
darah langsung dengan aku, tetapi dia tetap menghormati aku sebagai ibunya.
KELAM
kabut aku menyeberang jalan apabila ternampak kakak yang menjual biskut
tadi melambai-lambai kepada aku. Huzair sudah aku pastikan selamat masuk ke
dalam kereta terlebih dahulu.
Oh,
aku terlupa ambil duit baki rupa-rupanya. Manalah aku nak perasan. Ramai sangat
orang tadi dengan Huzair yang dah mula meragam pula.
Selepas
duit baki bertukar tangan dan ucapan terima kasih dihulur, segera aku melihat
keadaan trafik sebelum melintas jalan. Beberapa orang lain turut sama melintas.
Tidak
semena-mena selepas itu, aku dapat mendengar bunyi jeritan yang datang dari
arah belakang dan sekelip mata sahaja tubuhku terasa seperti dirempuh oleh
suatu beban yang amat berat. Tubuhku terhempas di atas jalan tar.
Nafas
terasa berat dan payah untuk dihela. Segenap tubuh terasa bagai tidak mampu
untuk digerakkan. Pandanganku mulai kabur.
“Hu...
Huzair...” bisikku perlahan sebelum duniaku terasa gelap.
Nota kaki: Okey, Zaira meninggal, :P. Mohon percaya. >_< *hewhewhew (gelak jahat dalam hati)* Terima kasih sudi baca, :). Kalau tak ada next entry minggu depan maknanya Zaira meninggal tau. *sila fikir logik macam mana Zaira tulis cerita ni kalau dia dah meninggal. mana tahu ada roh yang tak tenang*
Haissh...kalau zaira meninggal xde citer dah
ReplyDeletejgnlah zaira meninggal baru nak baikkan....
ReplyDeleteTAKKAN TAMAT GITU JE. ANDAI ZAIRA MENINGGAL, MCMN CERITA NI AKAN TERBINA SBB PENCERITA MENINGGAL, RASA TAK LOGIK PULA.
ReplyDelete